Tentang GREEN for Riau

Informasi mengenai website GREEN for Riau

Safeguards merupakan sebuah kerangka pengaman berbentuk serangkaian kebijakan, prosedur, dan langkah-langkah yang dirancang untuk mencegah atau mengurangi berbagai potensi dampak negatif dari bermacam jenis kegiatan dengan cakupan tertentu. Terkait dengan kegiatan REDD+, definisi lain safeguards berdasarkan Permen LHK 70/2017 adalah kerangka pengaman yang melindungi dan menjaga agar tidak terjadi atau menekan sekecil mungkin terjadinya dampak negatif dari dilaksanakannya kegiatan REDD+ dan mendorong sebanyak mungkin dampak positif, baik dari aspek tata kelola sosial maupun lingkungan. Pemahaman mengenai sejarah safeguards memerlukan penjelasan mengenai keterhubungannya dengan REDD+ untuk dapat memahaminya secara komprehensif.

Struktur Kelembagaan

1.1. Sejarah Safeguards

Safeguards dalam konteks kegiatan terkait REDD+ fokus terhadap upaya melindungi hak-hak masyarakat, mendukung pebangunan berkelanjutan, mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam perencanaan kegiatan REDD+. Dengan demikian dampak negatif lingkungan maupun sosial yang mungkin terjadi dapat dicegah dan diminimalisir dan kegiatan REDD+ dapat memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan. Bagian tulisan ini akan membahas secara singkat sejarah safeguards di kedua bidang tersebut sebagai pendahuluan untuk menjelaskan keterkaitannya dengan Cancun Safeguards.

1.1.1. Safeguards Lingkungan dan Sosial di Lingkup Internasional

Pada bidang lingkungan, perkembangan safeguards sejalan dengan meningkatnya pengetahuan manusia terhadap prinsip-prinsip ekologis. Di bidang ini, upaya mendorong kebijakan yang lebih memperhatikan kelestarian lingkungan hidup telah banyak dilakukan sejak abad pertengahan. Sebagai contoh, pada tahun 1664 John Evelyn telah menulis buku berjudul "Sylva, or, a Discourse of Forest-Trees" yang mendorong pemberlakuan statuta untuk pelestarian dan peningkatan kualitas hutan. Namun demikian, tonggak implementasi safeguards modern muncul dalam Konferensi Stockholm pada tahun 1972 dan menandai pembentukan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (The United Nations Environment Programme – UNEP). Chasek (2020) menjelaskan bahwa Konferensi Stockholm menjadi titik balik dengan menyediakan prinsip terkait permasalahan lingkungan serta kerja sama untuk mencari solusi guna menyelaraskan antara pembangunan ekonomi dengan pengelolaan lingkungan berkelanjutan secara global. Secara bertahap, prinsip-prinsip perlindungan lingkungan yang diinisiasi Konferensi Stockholm tersebut diimplementasikan oleh berbagai entitas global, termasuk Bank Dunia, dengan berbagai variasi bentuk kebijakan.

Sementara itu, safeguards sosial dalam suatu kegiatan baru dipertimbangkan pada sekitar 1980 – 1990-an. Pada saat itu, Grup Bank Dunia menjadi salah satu yang menerapkannya, setelah muncul kontroversi terkait beberapa proyek yang mereka biayai (Kasimbazi 2009). Kontroversi tersebut memicu krisis legitimasi, mendorong mereka untuk lebih berhati-hati dalam mendukung perekonomian berbagai negara melalui program pembiayaannya (Dann dan Riegner, 2019).

Sejak awal pendiriannya, Bank Dunia, sebagaimana lembaga pembiayaan internasional (international financing institutions – IFI) lain, telah membiayai berbagai proyek investasi dan beberapa di antaranya menimbulkan kritik pedas akibat dampak buruk bagi lingkungan maupun sosial yang dihasilkan. Salah satu contoh dampak buruk akibat pembiayaan Grup Bank Dunia adalah proyek Chixoy Hydroproject yang dilakukan tanpa penyaringan dampak sosial sehingga menyebabkan 400 masyarakat adat Maya-Achi yang menolak relokasi disiksa dan dibunuh pada tahun 1982 (Schoonejans 2023). Kasus besar lain yang juga terjadi adalah pembangunan dam Sardar Sarovar di Narmada, India yang menyebabkan pemindahan 100.000 orang dan berdampak pada 140.000 warga lain pada tahun 1995 sehingga menimbulkan kontroversi di seluruh dunia (Flood 1997). Akibatnya, kritik bermunculan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi masyarakat (Ormas/civil society organization (CSO)) yang semakin menyadari bermasalahnya dampak kegiatan Bank Dunia. Masih menurut sumber tersebut, Bank Dunia mulai menyertakan berbagai pertimbangan sosial ke dalam kebijakan peminjamannya guna merespons dampak negatif tersebut.

Setelah penerapan safeguards, baik sosial maupun lingkungan, berbagai entitas seperti lembaga pembiayaan internasional, LSM, sektor swasta, hingga pemberlakuan regulasi di tingkat negara mulai memberlakukan kerangka ini sebagai standar normatif global (Dann dan Riegner, 2019). Pada akhirnya, pemberlakuan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial semacam ini juga diadopsi dalam Cancun Safeguards yang menjadi basis bagi penyusunan Sistem Informasi Safeguards untuk kegiatan terkait REDD+ (SISREDD+) di Indonesia.

1.1.2. Cancun Safeguards dan Implementasinya di Indonesia

Cancun Safeguards merupakan sistem perlindungan dengan cakupan luas prinsip, aturan, dan prosedur yang ditetapkan untuk mencapai tujuan sosial dan lingkungan (Roe dkk. 2013) terkait tata kelola lingkungan dan sosial yang perlu diperhatikan dan dihormati oleh negara-negara yang menjadi anggota dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC – Konvensi Kerangka Kerja Persatuan Bangsa-bangsa terkait Perubahan Iklim) yang berpartisipasi dalam REDD+. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengadopsi protokol REDD+ tersebut pada COP16 yang berlangsung pada tahun 2010 di Cancun, Meksiko. Cancun Safeguards[2] menyepakati tujuh prinsip yang menyediakan mekanisme untuk mengintegrasikan masalah lingkungan dan sosial ke dalam pengambilan keputusan (Roe dkk. 2013), yaitu:

  1. Bahwa pelaksanaan kegiatan terkait REDD+ melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional dan konvensi serta perjanjian internasional yang relevan;
  2. Struktur tata kelola kehutanan nasional yang transparan dan efektif, dengan mempertimbangkan undang-undang dan kedaulatan nasional;
  3. Penghormatan terhadap pengetahuan dan hak masyarakat adat dan anggota masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan kewajiban internasional yang relevan, keadaan dan hukum nasional, dan mencatat bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah mengadopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat;
  4. Partisipasi penuh dan efektif dari para pemangku kepentingan yang relevan, khususnya masyarakat adat dan masyarakat lokal;
  5. Bahwa aksi REDD+ konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati, memastikan bahwa tindakan yang disebutkan dalam keputusan ini tidak digunakan untuk alih fungsi hutan alam, tetapi sebaliknya digunakan untuk memberi insentif bagi perlindungan dan konservasi hutan alam dan layanan ekosistemnya, dan untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan lainnya, dengan mempertimbangkan kebutuhan akan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal serta saling ketergantungan mereka terhadap hutan di sebagian besar negara, sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat, serta Hari Bumi Internasional.
  6. Tindakan untuk mengatasi risiko pembalikan (risk reversals);
  7. Tindakan untuk mengurangi perpindahan emisi (emission displacement).

Cancun Safeguards mensyaratkan bahwa ketujuh prinsip yang disepakati di atas harus diperhatikan dan dihormati oleh tiap negara anggota UNFCCC. Guna memastikan bahwa safeguards diperhatikan oleh seluruh negara anggota, mereka harus menjelaskan Cancun Safeguards sesuai dengan regulasi di masing-masing negara; melakukan penilaian terhadap kebijakan, hukum, dan regulasi yang ada di tiap negara; serta menyesuaikan kebijakan, hukum, dan regulasi tersebut dengan ketujuh prinsip dalam Cancun Safeguards. Sementara itu, untuk memastikan bahwa safeguards dihormati, setiap negara anggota perlu mengimplementasikan aturan-aturan perlindungan yang telah disusun dan disesuaikan. Guna membuktikan bahwa suatu negara telah mematuhi ketujuh prinsip yang disepakati bersama, Cancun Safeguards memrasyaratkan berbagai data pendukung berupa dokumen kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, maupun evaluasi berbagai kegiatan terkait REDD+. Tidak berhenti sampai di sana, negara-negara tersebut juga wajib untuk membentuk SIS dan secara berkala menyerahkan ringkasan informasi safeguards kepada UNFCCC. Penjelasan rinci terkait pendekatan Cancun Safeguards dari tiap negara sebagaimana direkomendasikan oleh UN-REDD tersaji dalam Gambar 1.

Saat ini Indonesia telah mengakui, mengadopsi, dan mulai mengimplementasikan pelaksanaan Cancun Safeguards. Bahkan, Indonesia telah menyerahkan dokumen nasional Summary of Safeguards Ke-2 pada tahun 2023 yang mengindikasikan bahwa Indonesia telah memerhatikan safeguards pada seluruh kegiatan terkait REDD+. Implementasi Cancun Safeguards dan REDD+ di Indonesia juga telah diatur dalam Permen LHK No. 70 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks. Regulasi tersebut mengadopsi seluruh tujuh prinsip dalam Cancun Safeguards dan mengembangkannya menjadi 17 kriteria dan 32 indikator. Seluruh prinsip, kriteria, dan indikator (PCI) tersebut dilengkapi dengan Alat Penilai Pelaksanaan Safeguards (APPS) yang mendefinisikan berbagai jenis data pendukung yang dibutuhkan.

1.2. Pelaksanaan Strategi Pelaksanaan REDD+ dan Pengaturan Kelembagaan Safeguards di Provinsi Riau

Secara umum, pengaturan kelembagaan safeguards di Provinsi Riau mengikuti apa yang telah dibangun di tingkat nasional, yaitu berdasarkan Permen LHK No. 70 Tahun 2017. Pasal 7 regulasi tersebut mengatur tahapan pelaksanaan REDD+ yang harus dilakukan di tingkat Sub Nasional yang mengikuti kebijakan serupa di tingkat nasional. Tahapan tersebut adalah penyusunan program strategis, pengkajian ulang, penguatan kebijakan dan peraturan di tingkat sub nasional, penguatan kelembagaan, dan perubahan paradigma serta budaya kerja.

Saat ini, Provinsi Riau telah menyelesaikan tahap penyusunan tujuan pembangunan berupa Program Riau Hijau berdasarkan Pergub Riau No. 9 Tahun 2021 tentang Riau Hijau. Selanjutnya, pengejawantahan rencana tersebut telah tertuang dalam Pergub Riau No. 56 Tahun 2022 tentang Pembangunan Rendah Karbon – yang semakin menegaskan kesesuaian arah pembangunan Provinsi Riau dengan strategi pelaksanaan REDD+ di tingkat Nasional. Dengan tersusunnya dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) Riau Hijau dan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Riau, Riau telah memulai penyusunan arsitektur dan rencana aksi REDD+ sebagaimana arahan dalam Strategi Nasional REDD+ 2021 –2030.

Selain kesesuaian perencanaan REDD+ di tingkat sub nasional, Provinsi Riau juga telah melalui tahap penguatan kebijakan dan peraturan dan penguatan kelembagaan. Berdasarkan data-data pendukung berbentuk regulasi yang tersedia dan telah ditelaah, terdapat kebijakan yang telah sejalan dengan kebutuhan terhadap kepatuhan implementasi safeguards di Indonesia. Terkait dengan pengarusutamaan gender misalnya, Provinsi Riau telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Riau No. 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Provinsi Riau. Hingga saat ini, Provinsi Riau tercatat telah memiliki berbagai kebijakan untuk tiap sektor yang relevan dengan REDD+ seperti kehutanan, konservasi, pengarusutamaan gender, anti korupsi, keterbukaan informasi, rekognisi masyarakat hukum adat (MHA) dan wilayah adat, hingga regulasi mengenai pemberian kompensasi terhadap pemanfaatan pengetahuan lokal.